MonitorRakyat — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam pelaksanaan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kelurahan Sendangguwo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, kembali mencuat dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Sejumlah warga mengaku dimintai biaya tambahan di luar ketentuan resmi pemerintah, dengan alasan “biaya kelancaran administrasi” serta “pengukuran tanah.” Namun hingga kini, tidak ada kejelasan dasar hukum maupun transparansi penggunaan dana tersebut.
Menurut penuturan warga, pungutan yang semula disebut “swadaya sukarela” itu justru menjadi beban wajib, dan besarannya ditentukan secara sepihak oleh panitia tanpa musyawarah tertulis sebagaimana diatur dalam regulasi.
Nama-nama yang disebut dalam pelaksanaan program PTSL di Sendangguwo antara lain Sulis dan Jumiran, selaku panitia PTSL; Agustinus Kristiyono, S.Pd, MM, yang kala itu menjabat Lurah Sendangguwo dan kini menjadi Lurah Sambirejo, Kecamatan Gayamsari; serta Kusrin, SE, mantan Camat Tembalang yang kini menjabat sebagai Anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi PDI Perjuangan.
Warga menilai praktik semacam ini telah menodai semangat utama program PTSL, yang seharusnya digagas pemerintah untuk memberikan kepastian hukum atas tanah masyarakat secara gratis, transparan, dan akuntabel.
Berdasarkan Permen ATR/BPN Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, ditegaskan bahwa biaya PTSL sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Warga hanya boleh dikenai biaya swadaya untuk keperluan non-teknis seperti pembelian materai, patok, atau konsumsi rapat, dan itu pun harus berdasarkan hasil kesepakatan bersama secara tertulis.
Dengan demikian, segala bentuk pungutan yang tidak memiliki dasar hukum jelas dapat dikategorikan sebagai pungutan liar.
“Kami kecewa dan merasa dirugikan. Katanya program ini gratis, tapi kami tetap disuruh bayar tanpa penjelasan apa-apa,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Sementara itu, tim redaksi telah berupaya meminta klarifikasi kepada pihak-pihak terkait Sulis, Jumiran, Agustinus Kristiyono, dan Kusrin melalui pesan singkat dan aplikasi WhatsApp, namun tidak ada satu pun yang memberikan tanggapan hingga berita ini diterbitkan.
Atas situasi ini, warga berharap Aparat Penegak Hukum (APH) segera turun tangan untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan pungli tersebut.
Jika terbukti benar, pelaku dapat dijerat Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara dan pemberhentian dari jabatan publik.
Kasus ini kini menjadi sorotan tajam publik, karena dugaan pungli justru terjadi di program strategis nasional yang mestinya menjadi simbol pelayanan publik yang bersih, gratis, dan berpihak pada masyarakat kecil.
Sebagai bentuk komitmen terhadap transparansi dan kontrol sosial, tim media berencana mempublikasikan hasil investigasi kasus ini melalui platform digital: TikTok, Instagram, Facebook, Twitter, serta situs resmi Saberpungli, agar masyarakat luas dapat mengetahui fakta sebenarnya.
