MonitorRakyat – Publik kembali diguncang oleh dugaan pelanggaran serius dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Desa Troso, RT 03 RW 10, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara.
Sebuah tower milik PT. TBG disebut-sebut berdiri tanpa izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan tanpa Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dua dokumen legal yang wajib dimiliki sebelum sebuah bangunan dapat difungsikan secara resmi.
Kasus ini sontak memantik tanda tanya besar:
Di mana peran Dinas PUPR, DPMPTSP, Satpol PP, Inspektorat Kabupaten Jepara, Camat Pecangaan, hingga Kepala Desa Troso.
Apakah seluruh jajaran birokrasi daerah benar-benar tidak mengetahui adanya aktivitas pembangunan tower tersebut, atau justru terjadi pembiaran yang disengaja.
Jika benar ada unsur pembiaran, maka kasus ini tidak lagi sebatas pelanggaran administratif. Aromanya bisa mengarah pada dugaan praktik korupsi, suap, dan gratifikasi di tubuh birokrasi daerah.
Dalam praktik di lapangan, pembangunan tanpa izin kerap menjadi ladang subur bagi penyimpangan. Sejumlah indikasi yang perlu disoroti antara lain:
1. Suap atau uang pelicin, agar proyek tetap berjalan tanpa dokumen resmi.
2. Fasilitas terselubung berupa hadiah, perjalanan dinas, atau dukungan politik sebagai bentuk “terima kasih” atas sikap tutup mata.
3. Rekayasa dokumen, yakni dugaan penerbitan PBG atau SLF melalui kolusi antara pengusaha dan oknum pejabat.
4. Pengawasan yang dilemahkan, mulai dari penundaan inspeksi, pembiaran laporan warga, hingga pengabaian kewajiban hukum.
Jika dugaan-dugaan ini terbukti, maka integritas aparatur negara sedang berada di ujung tanduk.
Korupsi dalam proses perizinan bukanlah hal sepele. Dampaknya menjalar luas, bukan hanya pada birokrasi, tapi juga pada masyarakat.
Beberapa konsekuensi yang muncul antara lain:
* Kerugian keuangan daerah, akibat hilangnya potensi retribusi dan pajak.
* Ketidakadilan bisnis, karena pelaku usaha yang taat aturan justru kalah oleh mereka yang “bermain di belakang meja.”
* Ancaman keselamatan publik, sebab bangunan tanpa SLF berpotensi roboh dan membahayakan warga sekitar.
* Runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dan penegak hukum.
Ketua Organisasi Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT IB) Provinsi Jawa Tengah, Joko Budi Santoso, menegaskan bahwa pihaknya telah melayangkan surat resmi kepada Kasatpol PP Kabupaten Jepara dan Bupati Jepara untuk meminta klarifikasi terkait dugaan pelanggaran tersebut.
Namun hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak pemerintah daerah.
“Kami tidak ingin menuduh, tapi kami menuntut transparansi. Jika tower itu berdiri tanpa izin, maka harus ada tindakan tegas. Hukum tidak boleh pandang bulu,”
tegas Joko Budi Santoso kepada Wartawan.
Menyikapi temuan di lapangan, publik kini menuntut langkah cepat dan terbuka dari pihak berwenang. Beberapa langkah yang dinilai mendesak antara lain:
* Inspektorat Kabupaten Jepara diminta melakukan audit menyeluruh terhadap proses perizinan tower milik PT. TBG.
* DPRD Jepara dan Satpol PP didesak melakukan sidak lapangan serta menghentikan seluruh aktivitas jika ditemukan pelanggaran.
* DPMPTSP dan Dinas PUPR diminta membuka data publik terkait status legalitas bangunan tersebut.
* KPK dan Kejaksaan Negeri Jepara diharapkan turun tangan jika ada indikasi suap atau gratifikasi.
Kasus dugaan pendirian tower tanpa izin di Desa Troso menjadi cermin lemahnya sistem pengawasan dan transparansi pemerintahan daerah.
Jika benar ada pembiaran, maka hal ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan gejala korupsi sistemik yang berakar dalam birokrasi.
Masyarakat kini menunggu tindakan nyata, bukan sekadar janji manis.
Sebab, pemerintahan yang membiarkan pelanggaran kecil hari ini, sesungguhnya sedang menyemai korupsi besar di masa depan.
