MonitorRakyat.com – Dugaan praktik pungutan liar kembali mencoreng wajah pengelolaan retribusi di Kota Semarang. Kali ini, sorotan tajam mengarah ke kawasan Simongan, tempat ratusan pemilik kios kecil diduga menjadi sasaran penarikan uang harian yang penuh kejanggalan. Setiap hari, para pedagang diminta menyetor Rp3.000, kecuali hari Minggu yang disebut sebagai hari libur penarikan. Praktik ini berlangsung rutin, senyap, dan nyaris tanpa perlawanan.
Modusnya sederhana namun mencurigakan. Pedagang yang membayar menerima tiga lembar karcis retribusi. Masalahnya, pada setiap karcis hanya tertera nominal Rp800. Jika dijumlahkan, totalnya hanya Rp2.400. Ada selisih Rp600 per kios per hari yang tak pernah dijelaskan. Selisih kecil ini mungkin terlihat sepele, tetapi jika dikalikan ratusan kios dan ratusan hari, nilainya berubah menjadi angka fantastis yang patut dicurigai.
Pengakuan pedagang menguatkan dugaan bahwa praktik ini jauh dari prinsip akuntabilitas. Pembayaran tidak selalu dilakukan harian. Jika satu hari terlewat, pedagang diminta membayar dobel di hari berikutnya. Semua berlangsung tanpa pencatatan resmi. Tidak ada buku administrasi, tidak ada laporan, tidak ada standar baku. Jumlah setoran bisa berubah-ubah, tergantung kesepakatan lisan semata. Sebuah pola klasik yang membuka ruang lebar bagi manipulasi.
Ketiadaan sistem administrasi bukan sekadar kelalaian, melainkan alarm keras. Dalam beberapa kasus, pedagang mengaku hanya menyerahkan uang seadanya dan tetap diterima. Karcis pun tidak selalu diberikan, kecuali jika diminta. Penarikan lebih menyerupai kebiasaan turun-temurun daripada mekanisme retribusi resmi yang sah secara hukum.
Identitas petugas penarik retribusi menambah daftar kejanggalan. Mereka disebut tidak mengenakan seragam dinas, tanpa tanda pengenal, dan tanpa kejelasan status. Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: siapa yang memberi kewenangan, atas nama siapa penarikan dilakukan, dan ke mana uang tersebut disetor.
Ironi semakin tajam ketika melihat dasar hukum yang tercetak pada karcis. Tertulis Perda Kota Semarang Nomor 10 Tahun 2023 tentang Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah. Padahal, regulasi tersebut diketahui telah diubah dengan Perda Nomor 4 Tahun 2025. Penggunaan karcis lama dengan dasar hukum yang sudah direvisi menimbulkan pertanyaan serius tentang legalitas penarikan yang masih berjalan hingga kini.
Di sisi lain, para pedagang tidak merasakan manfaat nyata dari pungutan harian tersebut. Keamanan, kebersihan, hingga pengelolaan sampah tetap ditanggung sendiri. Tidak ada peningkatan fasilitas, tidak ada pelayanan tambahan, tidak ada wujud kehadiran negara selain tangan yang menagih uang setiap hari.
Berdasarkan keterangan narasumber, praktik ini berlangsung di wilayah Simongan dengan estimasi sekitar 500 kios. Dengan tarif Rp3.000 per kios per hari, potensi dana yang terkumpul mencapai sekitar Rp1,5 juta per hari atau sekitar Rp468 juta per tahun. Angka ini terlalu besar untuk dianggap remeh dan terlalu mencolok untuk diabaikan begitu saja.
Situasi ini menuntut langkah tegas. Audit menyeluruh, penelusuran aliran dana, dan klarifikasi terbuka dari instansi terkait menjadi keharusan. Transparansi bukan sekadar jargon, melainkan kewajiban hukum sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dasar hukum penarikan retribusi harus jelas, mutakhir, dan disosialisasikan. Mekanisme pencatatan, pelaporan, serta penggunaan dana wajib dibuka ke publik. Ketertutupan berpotensi melanggar Pasal 9 dan Pasal 11 UU KIP serta mencederai prinsip pengelolaan keuangan daerah.
Partisipasi publik menjadi benteng terakhir. Pedagang berhak mengetahui, berhak bertanya, dan berhak menggugat jika informasi ditutup. Jika akses informasi dihalangi, jalur sengketa ke Komisi Informasi Jawa Tengah terbuka lebar.
Kini bola panas berada di tangan Dinas Perdagangan Kota Semarang. Membuka data, menertibkan praktik lapangan, dan memastikan setiap rupiah retribusi dikelola secara sah adalah ujian integritas. Jika dibiarkan, dugaan pungutan liar di Simongan bukan hanya merampas hak pedagang kecil, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
