MonitorRakyat – Mantan Lurah Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Agustinus Kristiyono, S.Pd, MM, kembali menjadi sorotan tajam publik. Namanya disebut-sebut terlibat dalam dugaan pungutan liar (pungli) dalam pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) saat masih menjabat sebagai lurah Sendangguwo.
Informasi mengenai dugaan tersebut mencuat setelah sejumlah warga mengaku diminta membayar biaya yang jauh melampaui ketentuan resmi. Salah satu warga, yang meminta identitasnya dirahasiakan, menyebut bahwa pungutan itu dikemas dalam bentuk “kesepakatan bersama” dengan warga, padahal jumlahnya diduga berkali lipat dari biaya resmi.
Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, biaya resmi maksimal untuk pengurusan PTSL hanya Rp150.000 per bidang tanah. Setiap pungutan di luar ketentuan itu dapat dikategorikan sebagai pungli, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam aturan tersebut, pelaku pungli dapat diancam hukuman penjara seumur hidup atau denda hingga Rp1 miliar.
Namun, dugaan pelanggaran terhadap etika publik tak berhenti di situ. Narasumber lain menyebut adanya isu pribadi yang menyeret nama Agustinus Kristiyono. Ia dikabarkan menjalin hubungan khusus dengan seorang wanita yang bukan istrinya. Meski isu ini belum terbukti secara hukum, kabar tersebut telah memicu reaksi beragam di kalangan masyarakat Sambirejo.
Hingga berita ini diterbitkan, Agustinus Kristiyono, S.Pd, MM belum memberikan tanggapan atas dugaan pungli maupun isu pribadi yang menimpanya. Upaya konfirmasi melalui pesan singkat dan sambungan telepon yang dilakukan tim media belum mendapat respons.
Seorang pemerhati kebijakan publik di Kota Semarang menilai, kasus semacam ini mencoreng semangat program nasional yang seharusnya berpihak pada rakyat kecil.
“PTSL itu untuk membantu masyarakat memperoleh kepastian hukum atas tanahnya. Bila ada oknum yang justru memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi, baik materi maupun moral, itu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik,” tegasnya.
Kasus ini diharapkan menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum dan Pemerintah Kota Semarang agar ke depan program strategis nasional tidak kembali tercoreng oleh praktik menyimpang dari nilai integritas dan pelayanan publik.
